Selalu ada cerita tentang kehidupan yang tak luput dari air mata, baik itu bahagia maupun kesedihan.
Di mana kepedihan timbul dari sebuah duka, kesedihan hadir menyelimuti duka. Duka dan Kepedihannya tidak dapat dipisahkan, karena mereka adalah satu kesatuan rasa yang hanya bisa ditelaah dan diresapi oleh manusia.
Perihal duka dan kepedihannya, sering kali berkata pada Tuhan, kenapa hatiku bermuram durja tanpa ada senyum merekah mewarnai hari?
Duka dan Kepedihannya, menyisakan pilu yang teramat dalam di hati dan hidup yang sedang berjalan. Merasa tak kuat, tapi hidup harus terus berjalan. Merasa mampu, tapi hati sering kali terasa pilu. Banyak tanda-tanda dan firasat bahwa akan muncul kembali perpisahan yang memilukan itu, tapi rasanya terlalu cepat untuk kembali dihadapi ketika hati belum siap memikul beban.
Pada suatu hari, ketika semua bersuka cita, menyambut hari baru dengan rangkaian cerita penuh tawa, ketika semua beraktivitas sebagaimana mestinya, sebuah surat tiba-tiba datang membawa kabar pilu yang mencengangkan. Kami bingung, kami kalut, kami bersedih. Mengimbangi diri, keadaan, dan bagaimana mengatur perasaan untuk tetap berjalan tegar pada jalur yang semestinya demi kehidupan bersama.
Sebelum kabar pilu mereda, kembali lagi terjadi kekalutan di pagi hari, sebuah kabar yang tidak dapat lagi dielakkan, yang tidak dapat lagi disalahkan. Tuhan bergerak untuk membawa hambaNya kembali kepada haribaannya, pada pagi sunyi yang dipenuhi dengan isak tangis.
Apa sebenarnya yang memilukan? Apa sebenarnya yang menguras hati? Kehadirannya yang tak lagi ada di sisi, kehadirannya yang dalam sejekap hilang padahal kami sedang berjuang bersama.
Tangis memilukkan, air mata yang terus membanjiri pipi, kesedihan yang terus berlarut menjadikan diri penuh kepedihan. Mengingat kenangan yang harusnya indah berubah menjadi pilu. Mengingat kenangan yang harusnya dihabiskan bersama, berubah menjadi kesunyian.
Tuhan berkata, Aku mengujimu kelak untuk menaikkan derajatmu, agar kamu lebih ikhlas, kuat dan tetap menyembahKu.
Ku kira, semuanya sudah mereda, kesedihan setidaknya tidak terus menerus meliputi diri, tangisan tidak terus timbul setiap hari. Tapi, Tuhan kembali menguji hambaNya yang tiada luput dari dosa.
Pada hari yang berkabut, sedikit gerimis meski burung-burung gereja itu berkicau, sebuah kabar kembali datang yang diselimuti dengan kepedihan. Tersedu sambil mengelak atas apa yang terjadi, tersedu sambil terus berkata semua ini tidak nyata, tersedu sambil mengecam takdir Tuhan.
Tuhan berkata, Semua sudah jalannya, tak ada yang bisa mengubah, tak ada yang bisa mengelak. Semua bersifat pasti tanpa ada yang bisa tahu kapan akan terjadi.
Menyembuhkan luka, menerima kenyataan, bangkit dari kesedihan, semua itu terasa sangat berat. Berkali-kali bangkit, berkali pula jatuh pada kesedihan dan pilu yang sama.
Semua punya cerita kesedihan dan kepedihannya sendiri, tapi mengapa kisah ini sangat memilukan untuk diceritakan dan dilalui?
Ketika semua berjalan dengan sebagaimana mestinya, ketika hati mulai terlatih untuk bangkit, pada suatu malam yang sunyi dan sepi, sebuah kabar kembali menghampiri membawa semua kepiluan dan tangis yang tak tertahankan. Marah kepada Tuhan atas jalanNya, marah pada keadaan yang tidak bisa membuat semuanya lebih baik. Kecewa terhadap kisah hidup yang dijalani.
Tuhan kembali berkata, semua sudah jalannya, tak bisa kau pungkiri apalagi kau sesali. semuanya sudah terlambat, semuanya sudah terjadi. kuatkan hati, persiapkan untuk hal-hal yang secara pasti akan terjadi.
Terlintas pikiran bahwa Tuhan amat sangat menyayangi hambaNya hingga begitu banyak pilu yang hadir tanpa kenal waktu dan tempat, tanpa memastikan kembali bahwa hambaNya belum siap menghadapi kenyataan.
Sempat berbicara kepada Tuhan. Tuhan, bisakah kesedihan dan kepiluan itu diundur sejenak saja, hingga kami bisa bangkit dari keterpurukan sebuah kesedihan yang tiada henti ini? Sejenak saja, izinkan kami bangkit terlebih dahulu.
Ternyata Tuhan memang selucu itu terhadap perasaan hambaNya yang belum benar-benar bisa bangkit dari kepedihan, terhadap hambaNya yang belum mempersiapkan diri.
Hingga pada sebuah malam yang dingin, gerimis yang silih berganti dengan datangnya angin kencang, kabar dari kota seberang sana membawa kembali pilu dan kepedihan. Lantas, semuanya kembali memuncak, semuanya kembali runtuh.
Tuhan berkata, semua ini bukan salahmu, bukan salah siapapun, kamu hanya perlu mempersiapkan diri, cepat atau lambat, semua akan terjadi tanpa bisa kamu kendalikan.
Pada akhirnya, duka dan kepedihannya tiada usai. Meskipun tidak mampu tegak berdiri bangkit dari keterpurukan, Tuhan bilang tak apa-apa jika kamu harus tertatih perlahan demi perlahan sambil terus mempersiapkan diri atas apa yang sudah pasti akan terjadi.